Kertas Berbahan Batang Pisang Ini Diminati Pasar Mancanegara
- ratna tia
- Dec 4, 2017
- 5 min read
Kertas unik berbahan baku batang pisang | jual tas spunbond eceran
"Pewarnaan menggunakan pewarna alami dari gambir, teh, kopi dan bunga mawar atau warna sintetis dari pewarna tekstil. Keunggulan kertas ini tahan dari air," katanya.
Ilmu pembuatan kertas didapat sejak dia ingin mencetak Al Quran sendiri, ditulis sendiri dan bahan yang dibuat sendiri. Bermula saat bekerja di yayasan pencetak mushaf pertama di Indonesia yang kemudian dia kembangkan di Bandung secara mandiri.
Bukan hanya untuk mushaf Al Quran, Syafiq juga mendiversifikasi produknya menjadi bermacam produk diantaranya dibuat box, frame, tas, kartu undangan dan hiasan ruangan.
Proses pembuatan dimulai dari melepaskan pelepah batang pisang yang kemudian dijemur. Setelah itu dipotong sekitar lima centimeter dan direbus dengan tambahan soda, lama merebus tiga hingga empat jam, kecuali tanpa soda bisa menghabiskan waktu seharian.
Setelah pelepah lunak atau berwarna cokelat kemudian digiling dan dibleaching (diputihkan) dengan zat hidrogen peroksida kemudian diwarnai atau bisa juga tidak diwarnai. Kemudian dimasukkan ke dalam bak air lalu disaring dengan kawat nilon sebagai cetakan kemudian bisa ditempeli hiasan seperti daun alami. Setelah kering jadilah selembar kertas.
Yang membedakanya yakni tekstur kertas dari batang pisang lokal lebih kasar dan melalui proses penggilingan menggunakan blender. Sementara kertas dari batang pisang Abaca lebih lembut dibanding pisang lokal dan dalam proses penggilingannya pun menggunakan mesin khusus.
"Pembelian batang pisang dihitung perkilo, biasanya beli satu mobil pickup habis dalam sepekan," katanya.
Pembeli dari Malaysia biasanya sengaja datang ke sini (Galery Banana Paper) untuk membeli kertas dan langsung pulang lagi," katanya.
Beda jenis batang pisang beda pula proses dan harganya. Syafiq menggunakan batang pisang lokal yang biasa dipasok dari Cipatat, Bandung, dan batang pisang impor Abaca yang merupakan jenis pisang liar yang tumbuh di Filipina dan menyebar di Sumatera.
Dia mengatakan pesanan tak hanya datang dari warga Bandung, melainkan banyak juga dari mancanegara seperti Jepang, Amerika dan Malaysia. Dalam sehari, ia bisa memproduksi hingga 500 lembar tergantung banyaknya pesanan dan proses pembuatan.
"Harga kertas mulai dari Rp3.800 hingga Rp60 ribu per lembar, yang membedakannya yakni dari proses pembuatan, bahan, warna, ukuran dan tekstur material. Nilai lebihnya menjadi peluang besar kertas jenis ini," kata pemilik usaha "Banana Paper" Muhammad Syafiq di Bandung, Senin (3/8/2015).
Kertas unik berbahan baku batang pisang yang dikembangkan Muhammad Syafiq asal Bandung menarik minat pasar, baik pasar dalam maupun luar negeri.
Warga Bandung Kembangkan Kertas Berbahan Pisang | jual tas spunbond eceran
Ilmu pembuatan kertas didapat sejak dia ingin mencetak Alquran sendiri, ditulis sendiri dan bahan yang dibuat sendiri. Bermula saat bekerja di yayasan pencetak mushaf pertama di Indonesia yang kemudian dia kembangkan di Bandung secara mandiri.
Bukan hanya untuk mushaf justru dia mendiversifikasinya menjadi bermacam produk di antaranya dibuat box, frame, tas, kartu undangan dan hiasan ruangan.
Setelah pelepah lunak atau berwarna cokelat kemudian digiling dan dibleaching (diputihkan) dengan zat hidrogen peroksida kemudian diwarnai atau bisa juga tidak diwarnai. Kemudian dimasukkan ke dalam bak air lalu disaring dengan kawat nilon sebagai cetakan kemudian bisa ditempeli hiasan seperti daun alami. Setelah kering jadilah selembar kertas.
"Pewarnaan menggunakan pewarna alami dari gambir, teh, kopi dan bunga mawar atau warna sintetis dari pewarna tekstil. Keunggulan kertas ini tahan dari air," katanya.
Proses pembuatan dimulai dari melepaskan pelepah batang pisang yang kemudian dijemur. Setelah itu dipotong sekitar lima centimeter dan direbus dengan tambahan soda, lama merebus tiga hingga empat jam. "Kecuali tanpa soda bisa menghabiskan waktu seharian," ujarnya.
Ia menjelaskan, yang membedakanya yakni tekstur kertas dari batang pisang lokal lebih kasar dan melalui proses penggilingan menggunakan blender. Sementara kertas dari batang pisang Abaca lebih lembut daripada yang lokal dan dalam proses penggilingannya pun menggunakan mesin khusus.
"Pembelian batang pisang dihitung perkilo, biasanya beli satu mobil pickup habis dalam sepekan," katanya.
Beda jenis batang pisang beda pula proses dan harganya. Syafiq menggunakan batang pisang lokal yang biasa dipasok dari Cipatat, Bandung, dan batang pisang impor Abaca yang merupakan jenis pisang liar yang tumbuh di Filipina dan menyebar di Sumatra.
"Pembeli dari Malaysia biasanya sengaja datang ke sini (Galery Banana Paper) untuk membeli kertas dan langsung pulang lagi," katanya.
Ia mengatakan pesanan tak hanya datang dari warga Bandung, melainkan banyak juga dari mancanegara seperti Jepang, Amerika dan Malaysia. Sehari bisa memproduksi hingga 500 lembar tergantung banyaknya pesanan dan proses pembuatan.
Seorang warga Bandung, Jawa Barat, mengembangkan kertas berbahan baku batang pisang. Kertas itu pun menarik minat pasar baik dalam maupun luar negeri.
"Harga kertas mulai dari Rp 3.800 hingga Rp 60 ribu per lembar. Yang membedakannya yakni dari proses pembuatan, bahan, warna, ukuran dan tekstur material.
Nilai lebihnya menjadi peluang besar kertas jenis ini," kata pemilik usaha Banana Paper Muhammad Syafiq di Bandung, Senin (3/8).
Buktikan Peduli Lingkungan, Generasi Milenial Bisa Apa? | jual tas spunbond eceran
Dampak pada lingkungan, misalnya, pembukaan lahan hutan untuk kebun sawit yang mengakibatkan bertambahnya emisi karbon dioksida. Padahal, tadinya hutan itu untuk menyerap karbon dioksida.
“Dari data kami, tutupan hutan di Sumatera berkurang dari 58 persen pada 1985 menjadi 25 persen pada 2014. Itu karena aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan permukiman,” ucap Margareth.
Kampanye ini mencakup berbagai produk yang berhubungan dengan efisiensi energi, misalnya penggunaan kayu untuk tisu dan kertas, makanan laut, elektronik, termasuk produk lain berbahan dasar kelapa sawit.
Bagi Margareth, dari hal-hal yang dia sebutkan, produk berbahan dasar sawit mesti diperhatikan karena berhubungan langsung dengan kehidupan sehari-hari manusia, di antaranya produk makanan kecil, minyak goreng, dan kosmetik.
Untuk mengampanyekan program “Beli yang Baik”, WWF Indonesia gencar melakukannya melalui tiga cara, yakni melalui media digital, kerja sama dengan komunitas, dan partnership alias kemitraan.
Merasa tidak bisa jalan sendiri, WWF Indonesia juga mengajak sejumlah perusahaan yang mempunyai pesan yang sama, yaitu produsen tisu, margarin, alat tulis dan gambar, otomotif, serta aneka produk konsumen (consumer goods).
Saat bertemu dengan Kompas.com pada pertengahan April 2017, Footprint Campaign Coordinator WWF Indonesia Margareth Meutia mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang meningkat membuat gaya konsumsi masyarakat juga meningkat.
Serupa tetapi tak sama, kampanye yang dimulai sejak Juni 2015 itu ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya masyarakat urban, dan diharapkan ikut memikirkan dampak konsumsi sehari-hari terhadap lingkungan.
Peraturan itu sejalan dengan program Gerakan Diet Kantong Plastik yang diinisiasi oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup, perusahaan produk perawatan wajah dan tubuh, serta perwakilan individu.
Mirip dengan gerakan itu, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia sebagai lembaga nirlaba yang peduli terhadap lingkungan pun mengampanyekan hal yang sama. Program itu bertajuk “Beli yang Baik”.
Hal yang terjadi kemudian adalah tercemarnya laut oleh sampah plastik sehingga tak sengaja menjadi makanan ikan. Keadaan semakin buruk saat ikan-ikan itu akhirnya dikonsumsi manusia dan berpotensi mengakibatkan keracunan.
Sejak itu, kebijakan plastik berbayar diberlakukan secara serentak di 22 kota di Indonesia. Maksudnya untuk mengurangi penggunaan sampah plastik di Indonesia dan menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan aturan tersebut, masyarakat harus membawa kantong atau tas sendiri saat berbelanja. Jika tidak, ada tambahan ongkos maksimal hingga Rp 500 untuk setiap kantong plastik belanja yang diberikan.
Latar belakangnya adalah pola konsumtif masyarakat yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan kantong belanja. Keadaan itu berujung pada gunungan sampah plastik yang sulit diurai.
Terkait dengan itu, masih ingatkah Anda dengan kebijakan pemerintah soal kantong plastik berbayar? Kebijakan itu dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Uji coba pemberlakuannya pun telah dilakukan pada 21 Februari 2016 hingga 5 Juni 2016.
Comments