Tas Bambu Apus yang Ramah Lingkungan
- ratna tia
- Nov 17, 2017
- 4 min read
Kreasi tas berbahan dasar bambu | goody bag bahan spunbond

Cardio bamboo ini tidak hanya mengantarkan Wenda lulus dengan nilai sangat memuaskan. Ia berencana mengembangkan produknya hingga diproduksi massal. Harganya pun beragam, dibandrol antara 400.000 hingga 700.000 rupiah.
Dosen pembimbing dua Kumara Sadana M. A mengatakan keunggulan produk Wenda karena bamboo ini diaplikasikan ke bentuk tas, maka lebih ringan jika dibandingkan dengan bahan kulit. Selain itu inovasi pengawetan bamboo alternative ini membuat umur bamboo lebih lama. "Sampai-sampai saat sidang skripsi beberapa dosen penguji menginginkan untuk membeli produk tersebut," tandasnya.
"Yang mengancam bambu bukan rayap, melainkan kumbang bubuk. Keduanya sama-sama hewan pengerat yang bisa merusak kayu," tegasnya.
Ada tiga macam produk yakni dompet, clutch, dan handbag. Uniknya, aksesoris yang ada pada setiap produk tersebut memiliki fungsi modular. Misalnya, salah satu aksesoris yang menempel di dompet bisa dilepas dan digunakan sebagai gelang. Begitu juga aksesoris pada handbag bisa dilepas dan digunakan sebagai sabuk.
Wenda memilih menggunakan bambu jenis Apus. Keunggulannya ada di seratnya yang lembut, lentur, dan jarak antar ruas yang panjang. Disisi lain, proses pembuatan bambu tak berduri ini tak terlalu rumit. "Asal sabar, rapi, dan teliti," kiatnya.
Lembaran-lembaran tipis bambu diolah, kemudian dalam proses desain dijahit dan direkatkan dengan karton duplex untuk disatukan. Untuk finishing, semprotkan pilok bening untuk memberi kesan tekstur yang halus dan mengkilap.
Wenda memberi nama karyanya Diobo (Cardio Bamboo), yang berarti memakai bahan-bahan ramah lingkungan. Tidak seperti proses pengawetan bambu yang pada umumnya mengunakan bahan kimia, gadis kelahiran Kediri ini memakai rebusan daun pepaya dan sirih untuk mengawetkan bambu.
Sebelumnya, Wenda ia telah mencoba berbagai eksperimen pengawet, seperti rendaman air garam hingga campuran tembakau dan cengkeh, maupun kapur dan garam. Namun, usaha tersebut masih dirasa kurang membuahkan hasil efektif dan maksimal. "Sampai akhirnya saya terus cari alternatif pengawetan alami yang lain, dan ketemulah resep ini," jelasnya.
Berbagai jenis tas bambu beredar dipasaran, kondisi itu tak membuat Wenda, mahasiswa Desain Manajemen Produk Universitas Surabaya kehabisan akal. Justru ia terinspirasi membuat kreasi tas berbahan dasar bambu yang berbeda dan fashionable, namun tetap mengedepankan ramah lingkungan.
Kreasi Baru Warga Gintangan, Songkok Berbahan Gedebog Pisang | goody bag bahan spunbond
Selain itu, kata Hadromi, songkok batik khas Banyuwangi kreasinya tersebut justru dinilai sangat bergantung pada pabrik dan harga kain batik yang terus berkembang. Hingga akhirnya memutuskan untuk menggunkan gedebog atau pelepah pisang untuk bahan songkok.
"Kita harus mencari jalan lain untuk mengkreasi bahan lainnya. Pokoknya kudu kreatif asal mau mengerjakan pasti jalan," tandasnya.
"Selain songkok juga bisa dibuat tas dan dompet yang juga berbahan debog pisang. Proses pembuatannya memang butuh ketelatenan dan keahlian khusus," jelasnya
Hadromi memang bukanlah orang baru di bidang kreatifitas produksi songkok ini. Karena dirinya mengaku sudah pernah membuat songkok berbahan kain batik khas Banyuwangi. Sayangnya, setelah laku dipasaran ternyata songkok tersebut justru banyak yang menjiplak atau memproduksi massal.
"Baru sebulan ini saya mendapat formula untuk menyempurnakan pola debog atau pelepah pisang ini. Kendala awalnya sering pecah saat dikenakan maupun saat terkena panas. Cucu saya malah memasarkanya lewat internet," ungkap Hadromi, Sabtu (14/1/2017).
Hingga kini songkok buatannya itu masih belum dipasarkan secara massal. Karena sementara ini masih hanya diproduksi sendiri. Dalam sehari, dia bisa mengerjakan dua buah songkok pelepah pisang. Harga satuan songkok ini cukup terjangkau dikisaran Rp 45 ribu.
Meski butuh upaya ekstra, namun niatnya itu pun terbayar kala hasta karyanya songkok khas gedebog pisang tercipta. Bahkan, kini dari tangan kreatifnya itu, songkok gedebog pisang mampu menghasilkan pundi rupiah yang menggoda.
Produksi songkok ini baru berjalan tiga bulan lalu. Namun, sejak kemunculannya sudah banyak warga dari berbagai daerah yang memintanya. Ciri khas songkok ini, selain memberi warna sendiri, juga terlihat lebih artistik dan tentunya ramah lingkungan.
Berawal dari melihat limbah 'gedebog' pohon pisang yang berserakan kala terbawa air hujan, muncul inspirasi untuk memanfaatkannya. Hadromi warga Dusun Krajan, Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari ini mengambil gedebog itu dijadikan berbagai karya yang bernilai tinggi.
Kerajinan 'Made In' Lapas Banyuwangi Tembus Korsel | goody bag bahan spunbond
Harimin menambahkan, saat ini ada 740 warga binaan yang ada di Lapas Banyuwangi. Setiap orang warga binaan mendapatkan upah sebesar Rp600 - Rp800 untuk satu barang yang dikerjakan. Dalam sehari per orang bisa menyelesaikan 60 kerajinan.
"Penghasilannya lumayan lah buat mereka, bisa lebih mandiri meskipun di Lapas, tidak tergantung dari orang lain," ujarnya.
Selain melepas ekspor kerajinan tangan, wabup Yusuf juga membuka kursus Bahasa Inggris perdana yang digelar Lapas. Kursus ini diikuti 148 warga binaan dan 37 petugas Lapas.
Harimin menjelaskan, awalnya Lapas bekerjasama dengan pihak ketiga untuk membekali warga binaan kelas II B tersebut dengan ketrampilan kerajinan tangan. Melihat hasil warga binaan yang dinilai baik dan berkualitas, pihak ketiga pun mempercayakan pengerjaan produk-produknya kepada warga Lapas.
"Mereka ini mengerjakan semua proses pembuatan kerajinan mulai dari bahan baku berupa kayu hingga mencapai produk jadi 80 persen. Untuk penyempurnaannya dilanjutkan oleh mitra Lapas," beber Harimin.
Sementara itu Kepala Lapas Banyuwangi Harimin mengatakan produk kerajinan warga binaan yang diekspor adalah berbagai peralatan makan khas Korea yang terbuat dari kayu. Seperti piring, mangkuk, tempat nasi, dan baki. Jumlahnya mencapai 12.572 buah item.
"Kegiatan Ekspor ini yang pertama ke Korea Selatan. Semua barang itu kami kirim menggunakan satu kontainer. Sebelumnya sudah ekspor secara rutin satu bulan sekali ke Jepang." kata Harimin.
Wabup berharap, dengan kegiatan ini akan menumbuhkan kemandirian dan optimisme warga binaan untuk berkiprah di masyarakat lewat ketrampilan yang dimiliknya.
"Selama ini persepsi orang warga lapas tidak produktif, ekspor kerajinan ini membuktikan sebaliknya. Saat keluar dari Lapas sudah punya mandiri," ujarnya.
"Hasil kerajinan para warga binaan Lapas Banyuwangi tersebut membuktikan kalau sebenarnya mereka memiliki sisi positif disamping image negatif yang melekat. Pada saat diberikan kesempatan mereka ternyata mampu menghasilkan karya yang tidak hanya bermanfaat tapi juga bernilai ekonomis," ungkap Wabup Yusuf.
Dalam kesempatan ini, produk yang dihasilkan oleh para warga ini akan dikirim ke Busan, Korea Selatan. Pelepasan hasil karya sebanyak satu kontainer itu disaksikan langsung oleh Wakil Bupati Banyuwangi Yusuf Widyatmoko, Selasa (7/3/2017).
Dalam ruang lingkup yang pengap itu, para penghuni Lapas justru mampu menghasilkan produk yang berharga. Bahkan, karya tersebut mampu menembus pasar mancanegara.
Keterbatasan tak menyurutkan niat dan kreatifitas seseorang. Setidaknya itu yang tampak pada sejumlah warga binaan di Lembaga Pemasyarakan Kelas II B Banyuwangi ini.
Comments