top of page

“Merampok” Tas Kresek, Demi Tekan Sampah Plastik Perkotaan

  • Writer: ratna tia
    ratna tia
  • Jul 19, 2017
  • 7 min read

Pengunjung pasar menukarkan kantong plastik dengan tas kain | tas spunbond lusinan




“Kalau di rumah jarang pakai tas kresek, malah ibu di rumah juga gak suka pakai tas kresek, lebih senang pakai tas kain. Tas Kresek itu kalau orang bilangnya pasti fleksibel, bisa dibuat apa saja, bisa ukuran kecil juga, murah juga atau malah gak bayar. Tapi kalau di mata aku sih itu berbahaya, soalnya itu terbuat dari limbah, kena makanan kan gak boleh,” tutur Tama.


Gerakan ini sontak membuat kaget beberapa pengunjung pasar, karena selain diminta mengganti kantong plastik dengan tas kain yang bisa dipakai berulang kali, para pengunjung yang kebanyakan ibu-ibu ini merasa disadarkan oleh edukasi yang dilakukan anaka-anak sekolah.


“Siap, nanti saya akan siapkan tidak pakai tas kresek lagi untuk mengurangi sampah. Terima kasih sudah diingatkan,” seru Sri Murtini, ibu rumah tangga yang juga seorang pegawai negeri sipil.


“Itulah kenapa diperlukan gerakan kampanye di tingkat bawah, serta tekanan-tekanan ke atas dengan membuat Perda (peraturan daerah). Harapan kita ketika di Perda dibatasi, ini bisa mengurangi pemakaian kantong plastik. Pengalaman saat kasir perusahaan ritel yang menawarkan butuh kantong plastik atau tidak, itu bisa mengurangi pemakaian kantong plastik atau tas kresek hingga 40 persen,” jabar Hanny.


Edukasi dan kampanye cinta lingkungan dari bahaya sampah plastik, diungkapkan oleh Tama, siswa Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya, sangat diperlukan. Bila setiap keluarga memiliki kesadaran akan bahaya tas kresek, maka setiap keluarga ikut berperan menjaga kelestarian lingkungan.


“Meski hanya 12 persen, tapi ternyata dia bisa menjadi 25 sampai 35 persen dari bagian sampah di TPA, karena berat jenisnya ringan. Kalau volume sampah justru lebih banyak,” ujar Hermawan Some.


Sementara itu menurut Hanny Ismail, aktivis Komunitas Nol Sampah, setiap orang menghasilkan 700 sampah kantong plastik atau tas kresek dalam satu tahun. Bila penduduk kota Surabaya mencapai 3 juta jiwa, dapat diperkirakan terdapat 2,1 milyar kantong plastik yang dihasilkan penduduk Surabaya dan akan terus meningkat bila tidak dilakukan langkah pengurangan.


Dari data perkembangan pemakaian kantong plastik terakhir, menunjukkan adanya peningkatan jumlah sampah plastik dari tahun ke tahun. Di Surabaya pada tahun 1988 jumlah sampah plastik hanya sekitar 5 persen, kemudian meningkat di tahun 2005 menjadi sekitar 10 persen. Pada tahun 2006 jumlah sampah plastik mencapai 12,4 persen dari total sampah yang jumlahnya hampir 10.000 meter kubik.



Kantong plastik yang dipakai hanya 1 hingga 5 menit itu, baru bisa terurai di alam butuh waktu ratusan tahun. Kalau kantong plastik berwarna dipakai kemasan makanan minuman, itu bisa sebabkan kanker pada manusia, karena bahan bakunya dari jenis berbahaya. Ini sudah diperingatkan juga oleh BPOM RI,” terang Hermawan.


Peringatan Hari Peduli Sampah ini menurut Hermawan didasari oleh tragedi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Leuwigajah, Bandung pada 21 Februari 2005 lalu. Hermawan berharap masyarakat sadar akan bahaya dampak kantong plastik, karena selain tidak dapat diurai di alam hingga ratusan tahun, kantong plastik juga dapat mengancam kesehatan manusia.


Kepada para pengunjung pasar, para siswa-siswi dan aktivis lingkungan dari Komunitas Nol Sampah memberikan pengertian dan edukasi agar masyarakat tidak lagi menggunakan tas kresek atau kantong palstik.


“Memang kalau untuk menghapus susah ya, jadi kami mengajak untuk diet atau mengurangi pemakaian kantong plastik untuk mengurangi sampah,” kata Hermawan Some, Koordinator Komunitas Nol Sampah kepada Mongabay-Indonesia.


Para aktivis lingkungan ini melakukan aksi “rampok” tas kresek, dimana pengunjung pasar yang berbelanja di pasar Soponyono, Rungkut, Surabaya, akan diminta mengganti kantong plastik atau tas kresek yang dipakai membawa barang belanjaan, kemudian diganti dengan tas kain yang telah disediakan para aktivis lingkungan ini.


“Bagi-bagi ini maksudnya bukan untuk bagi-bagi saja, tapi ini untuk memberitahu bahaya kresek seperti apa, kita beri tahu apa bahayanya,” ucap Tama, siswa kelas 7 Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya.


Persoalan sampah masih menjadi permasalahan setiap kota, termasuk kota Surabaya. Memperingati Hari Peduli Sampah yang jatuh pada setiap tanggal 21 Februari, Komunitas Nol Sampah bersama belasan siswa-siswi Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya melakukan kampanye diet tas kresek atau kantong plastik, sebagai upaya mengurangi sampah yang banyak dihasilkan oleh masyarakat rumah tangga.

Baru 2 Tahun, Penjualan Plastik Ecoplas Menjanjikan | tas spunbond lusinan


Ecoplas yang dari singkong itu memang sekitar 20-50 persen lebih mahal. Tapi kalau produk plastik dari jagung yang di luar negeri itu 300-400 persen lebih mahal. Ke depan, pasti bisa turun dengan pengembangan teknologi. Segala inovasi itu memang ada critical mass, yakni semakin banyak kita produksi pasti harganya semakin menarik.


Baru dua tahun pemasaran, kita sudah mencapai 30-40 persen. itu dari nol. Growth-nya cukup besar ya. Dan ini istilahnya masih baru memperkenalkan, jadi masih banyak area yang belum kita sentuh.


Tanggapan luar negeri bagus, dalam negeri pun bagus. Dua tahun ini, pemasaran cukup bisa diterima. Dua tahun lalu ketika kita mulai ke pasar modern seperti Indomart, Alfa, Hero, itu dalam satu tahun sudah 90 persen pakai. Jadi, itu suatu prestasi Indonesia. Karena kalau di negara lain, nggak ada tuh pasar modern-nya yang sudah pakai plastik ramah lingkungan begitu besar. Dua tahun ini ke pasar modern, tapi ini juga sudah mulai masuk ke pasar tradisional.


Tanggapan luar negeri bagus, dalam negeri pun bagus. Dua tahun ini, pemasaran cukup bisa diterima. Dua tahun lalu ketika kita mulai ke pasar modern seperti Indomart, Alfa, Hero, itu dalam satu tahun sudah 90 persen pakai. Jadi, itu suatu prestasi Indonesia. Karena kalau di negara lain, nggak ada tuh pasar modern-nya yang sudah pakai plastik ramah lingkungan begitu besar. Dua tahun ini ke pasar modern, tapi ini juga sudah mulai masuk ke pasar tradisional.


Setahun itu kurang lebih ada 10.000 ton. Itu masih kecil banget. Penjualan, ada ekspor sama penjualan dalam negeri. Porsinya mungkin 50-50. Ekspor ke Amerika Serikat, Vietnam, Kolombia, dan China. Dari 10.000 ton, pemakaian singkong kurang lebih 60 persennya.


Risetnya lama ya, kita penelitian sudah 10 tahun. Baru dalam 2 tahun ini kita mulai pemasaran. Dan cukup menggembirakan. Kita kan ada dua teknologi, satu lebih mahal, satu lebih murah. Cost-nya banyak sekali.

Singkong itu lebih mahal dan merakyat. Bukan cuma ada dampak lingkungannya, tetapi juga ada dampak sosialnya. Singkong itu gampang ditanam, di mana-mana bisa. Sementara dari jagung itu harganya sangat mahal. Kita (singkong) harganya sangat reasonable. Jadi, kita cari sumber yang paling economical.


Menurut dia, pembuatan produk kantong plastik dengan bahan baku tumbuh-tumbuhan bukan hal yang baru. Pembuatan dengan bahan alami ini sudah berlangsung di Amerika Serikat maupun Eropa. Hanya pembuatan plastik di negara-negara itu menggunakan tanaman jagung. Sementara, produk kantong plastik ecoplas dibuat dari singkong. “Nah, kita yang pertama kembangkan dari singkong. Karena kita daerah tropis, lebih banyak singkong dari jagung,” tambah Sugianto yang baru saja memenangkan penghargaan dalam hal inovasi dari Ernst&Young.


Lantas, seperti apa kondisi awal hingga kini dari bisnis plastik ecoplas ini. Berikut petikan wawancara dengan pria yang pernah menjalankan studinya di Amerika Serikat ini.


“Baru dalam dua tahun ini kita mulai pemasaran (ecoplas). Dan, hasilnya cukup menggembirakan,” sebut Sugianto Tandio, Presiden Direktur PT Tirta Marta, di sela-sela ajang Ernst&Young Entrepreneur of The Year Awards 2012, di Jakarta, akhir pekan lalu.


Penggunaan kantong plastik yang ramah lingkungan kini gencar dilakukan oleh sejumlah perusahaan ritel modern. Kondisi ini pun menguntungkan bisnis perusahaan yang memproduksi produk tersebut. Salah satunya adalah produk kantong plastik dari tepung singkong, ecoplas, yang dibuat oleh PT Tirta Marta.

Sugianto menyulap plastik menjadi ramah lingkungan | tas spunbond lusinan

Berbekal pengalamannya di AS, Sugianto melihat ada peluang besar membuat formula plastik ramah lingkungan. Ia pun melaksanakan riset selama 10 tahun untuk mendapatkan formula campuran plastik organik yang tepat. Saat itu, ia mendapatkan sokongan dana dari CDC Group asal Inggris dan Norfund asal Norwegia.


Di 2008, Sugianto mulai memasarkan temuannya secara komersial. Dalam dua tahun, produksinya naik 500% serta bisa ekspor ke AS, Hongkong, dan Singapura. Namun, cita-cita ayah dua anak ini belum tuntas. Ia ingin mengekspor Oxium dan Ecoplast ke 60 negara.


Suatu ketika, mertuanya, pemilik Tirta Marga, memberinya kesempatan memimpin perusahaan plastik yang sudah beroperasi 40 tahun itu. Liburannya pada tahun 1994 menjadi perjalanan yang sarat perjudian. Semula, sang istri tidak ingin pindah dari AS. Namun, takdir berkata lain. “Tuhan memberi petunjuk pada kami,” katanya. Sugianto berhasil menjual rumahnya di AS tanpa perantara. Padahal, pada 1993, pasar properti di sana sedang lesu. Setelah itu, ia pun pulang ke Indonesia dan mengelola Tirta Marta. “Saya kangen keluarga dan belajar berwirausaha,” katanya.


Setelah lulus dengan predikat summa cum laude, Sugianto mencoba melamar pekerjaan di Indonesia. Tapi, ia malah diterima di 3M, perusahaan pembuat produk-produk perlengkapan kantor dan konstruksi di AS. Perusahaan pembuat kertas stiker Post It ini merangsang Sugianto terus untuk berinovasi. “Kami diajari membuat penemuan atau paten yang bisa dijadikan produk, dijual, dan memperkirakan pasarnya untuk jangka panjang,” katanya.


Selama kurang lebih delapan tahun bekerja di 3M, ia menikmati gaji yang besar dan kehidupan yang mapan. Wajar jika Sugianto tak berpikir untuk kembali ke Tanah Air.


Selulus SMA, Sugianto mengincar universitas di AS. Ia ingin menjadi insinyur elektro. “Saya sempat ditipu oleh lembaga penyalur mahasiswa di Singapura. Alhasil, saya sempat terkatung-katung di Kanada,” katanya.


Pengalaman buruk itu tidak mengendurkan niatnya. Akhirnya, ia masuk Universitas North Dakota, AS, hingga lulus sarjana strata dua. “Saya mendapat beasiswa penuh, dan bekerja sebagai asisten dosen sehingga tidak perlu kiriman uang orang tua lagi,” kisahnya bangga.


Sugianto sendiri, sebenarnya, tak pernah bermimpi akan membuat plastik ramah lingkungan. Sugianto kecil adalah anak pemilik kebun karet di Jambi. Saban hari, ia membantu ayahnya menjaga toko kelontong. “Ayah saya lulusan sekolah dasar. Karena itu, ia berpesan agar anak-anaknya sekolah setinggi mungkin,” kenangnya.


Selulus SMP, pria kelahiran 1963 ini lantas pergi ke Jawa demi mencari sekolah terbaik. Ia masuk SMA De Britto, Jogja. Di perantauan, jiwa kewirausahaan Sugianto mulai muncul. Setahun menetap di Kota Gudeg, ia mulai menyewakan kamar kos di rumah yang ia sewa.


Total, kini, Tirta Marta telah memproduksi 3.000 ton Oxium per bulan. Dari penjualan Ecoplast dan Oxium, perusahaan ini meraup omzet sekitar US$ 10 juta per bulan. Kini, Auereos Capital asal Inggris juga turut memiliki 40% saham Tirta Marta. Mereka membeli saham itu senilai US$ 5 juta. “Nilai perusahaan ditaksir US$ 12,5 juta,” ujar Sugianto.


Inovasi menjadi kunci lompatan keberhasilan Sugianto dan Tirta Marta. Awalnya, perusahaan yang memiliki pabrik 2.000 meter persegi di Tangerang ini hanya mempekerjakan 50 karyawan. Kini, jumlah karyawan telah mencapai 200 orang. Dari semula hanya bekerja sama dengan 20 pabrik plastik lokal, kini, Tirta Marta telah bermitra dengan pabrik-pabrik plastik besar di Asia.


Konon, kemasan plastik biasa baru bisa terurai setelah 1.000 tahun. Nah, jika menggunakan tambahan zat adiktif Oxium hasil produksi Tirta Marta dalam proses pembuatannya, kemas-an plastik itu bisa terurai dalam dua tahun. Tirta Marta juga memproduksi Ecoplast, semacam resin dengan bahan dasar tepung singkong yang siap dipakai untuk membuat plastik ramah lingkungan.


Jika melihat manfaatnya yang demikian besar, wajar jika dua zat temuan Sugianto itu, kini, laris manis. Kedua merek itu telah menembus pasar Amerika Serikat (AS). Pusat perbelanjaan Mall of America, Club Monaco, dan produsen alat olah raga Hurley dan Zara menggunakan Ecoplast. Saat ini, Tirta Marta juga memasok Oxium ke produsen kantong plastik di dalam negeri. Kemasan itu kemudian digunakan oleh toko ritel Indomaret, Hero, Giant, dan beberapa gerai lain.


Berangkat dari niat meneruskan usaha mertua, Sugianto berhasil menemukan formula pembuatan plastik organik yang ramah lingkungan. Kini, Ecoplast dan Oxium dipakai oleh banyak produsen plastik. Nilai perusahaan ini pun terus meningkat.


Anda pernah mendengar nama PT Tirta Marta? Kemungkinan besar, tidak. Namun, di kalangan para produsen kemasan plastik dan pengelola pusat perbelanjaan, nama ini cukup beken. Maklum, perusahaan milik Sugianto Tandio ini menawarkan solusi yang jitu bagi mereka, yakni zat aditif yang mampu menyulap kemasan plastik menjadi produk yang ramah lingkungan.




 
 
 

Comentários


Goodybag BSD

Also Featured In

    Like what you read? Donate now and help me provide fresh news and analysis for my readers   

Donate with PayPal

© 2023 by "This Just In". Proudly created with Wix.com

bottom of page